Landhuis Tjimanggis, Rumah Tua Peninggalan Belanda di RRI Depok

Update: Landhuis Tjimanggis Terancam Digusur

Rumah tua ini cukup menyita perhatian gue, bermula dari keisengan gue untuk hunting foto di tempat ini, hingga rencana gue untuk membuat sebuah dokumenter amatir tentang rumah tua ini (yang dalam tahap produksi, hehehe videonya bisa ditonton di channel youtube).

Oya, sebelumnya gue mau memperkenalkan rumah tua ini. Rumah tua ini terletak di daerah kompleks RRI Cimanggis, Depok. Jika kamu merupakan orang depok, pasti mengetahui kompleks ini. Kompleks luas yang didalamnya terdiri belasan tiang-tiang pemancar raksasa ini, menyimpan sebuah sisa peninggalan Belanda sejak ratusan tahun yang lalu. Depok mungkin identik dengan kata Belanda, karena Depok dulu merupakan sebuah perkebunan milik seorang Belanda bernama Cornelis Chastelein yang dibelinya dari Pemerintah Belanda.

Literatur Rumah Tua ini sangat minim dan gue menduga tidak ada hubungannya dengan  Cornelis Chastelein. Selain dari jaraknya yang cukup jauh dari rumah Constelein tempati di depok lama, Rumah ini terletak di jalan raya bogor, dimana jalur tersebut sejak dahulu digunakan sebagai penghubung antara Jakarta dan Belanda.

833bfa05-0a60-4458-af10-7a39e7614adc

Menurut keterangan yang bisa gue gali dari internet, rumah ini merupakan milik janda Gubernur Jendral VOC, Van Der Parra dan dibangun oleh David J Smith. Petrus Albertus Van Der Parra merupakan Gubernur Jendral VOC yang memerintah dari tahun 1761 hingga 1775. Van Der Parra sendiri memiliki 2 istri, salah satunya adalah Adriana Johanna Bake, yang menikah dengan Van Der Parra hingga akhir hayat Van Der Parra. Van Der Perra dan Istrinya tercatat tinggal di daerah Weltevreden, Pinggir kota Batavia Lama yang sekarang terletak di daerah sawah besar.

Menurut catatan dari knaw.nl, Andriana Bake tetap memperoleh hak-hak istimewa sebagai seorang bangsawan, dan bisa jadi rumah tersebut dibangun untuk Andriana Bake. Read More

[Jelajah] Ngebolang Ke Pelabuhan Bakaheuni

Sabtu kemaren gue mempunyai ide yang cukup ngaco, gue pengen ke Bakaheuni. Gue pengen moto Kapal laut yang besar2 :D. Sebenarnya ide untuk moto kapal laut udah ada sebulan lalu, dimana gw mencoba untuk pergi ke pelabuhan Tanjung Priok, namun ga tau cara masuk pelabuhannya :D. So, akhirnya gue memutuskan untuk jalan-jalan ke Bakaheuni saja, sekalian mengingat masa kecil, waktu sering pulang kampung ke Sumut lewat jalur darat.
Perjalanan dimulai dari depok jam setengah 8 pagi, cukup siang dari rencana mau pergi jam 5 pagi. Sampai di terminal Kp Rambutan jam 8 lewat, gue langsung cari bis Primajasa trayek Kp Rambutan – Merak. Ongkosnya cukup murah, hanya 17.000 saja. 20 menit kemudian bis berangkat dan sebuah tragedi dimulai. Bis jalan pelaaaan banget, ada kali 1 meter per jam. sambil menunggu penumpang. Hal pertama yang gue kesel adalah, masa dari Terminal hingga masuk tol TB Simatupang butuh waktu 40 menit!! astaga. Hal kedua adalah seenak udelnya bis menurunkan-naikkan penumpang di tengah jalan, hingga membuat bis menjadi kaleng sarden. Hal inilah yang sebenarnya membuat gue malas berpergian naik bis, lebih mending naik kereta api jarak jauh. Tapi, tak apalah, namanya juga mau negbolang.
Sampe di terminal terpadu Merak, gue mencoba untuk mencari makan, karena harga makanan di kapal pasti mahal. Setelah makan siang selesai, gue pun menuju pelabuhan. Harga tiket naik Kapal Ferry cuman 11.500, murah kok. Kaki ini kemudian melangkah menuju ke kapal ferry. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, gue berada di selat sunda. Kurang lebih 40 menit kemudian, kapal berlayar ke Bakaheuni. Ah, gue menemukan pemandangan yang hampir 15 tahun ga pernah terlihat lagi, selat sunda.
kesibukan di pelabuhan merak

kesibukan di pelabuhan merak
Anak Koin
Di kapal ferry, ada beberapa kelas penumpang, dimana yang paling miris adalah kelas ekonomi. Dimana di ruang kecil itu, ada orkes dangdut yang suaranya menyiksa kuping. Gue sendiri memilih untuk duduk di buritan dan di dek kapal. Menikmati angin laut yang cukup kencang dan terik matahari yang membakar kulit, gue berasa kayak lagi di kapal yatch. lagi asik-asiknya berhayal memikirkan ekonomi negara, gue merasa bahwa kapal berhenti. Wah, ada apakah ini? ternyata kapal nge-tem dulu karena menunggu giliran untuk berlabuh. Hampir 30 menit kapal ngetem, lalu kapal berjalan kembali.

Pelabuhan Bakaheuni!!, akhirnya sampe juga. Dari kejauhan terlihat menara siger yang berdiri menjulang diatas bukit. Gue pun turun dari kapal dan mulai menjelajah pelabuhan. Sebenarnya pengen banget menjelajah ke lampung, tapi akibat waktu yang ternyata habis di jalan, akhirnya gue memutuskan untuk jalan-jalan aja di pelabuhan.

Menara Siger
Hampir sejam gue berada di bakaheuni, dan akhirnya gue memutuskan untuk pulang. Ternyata gue naik ferry yang sama dengan yang gue naikin tadi. astajim. Kapal pun berangkat kembali. Karena udah mulai magrib, gue mencoba untuk mencari minuman hangat. Alangkah terkejutnya ketika mengetahui bahwa harga kopi di kapal itu 10rebu!!. Harga mie seduh juga 10rebu, yah mending gue beli mie seduh. Seinget gue dulu, 15 tahun yang lalu masih ada pedagang umum yang jualan di ferry, tapi sekarang hanya kru kapal yang berjualan.
Dari kejauhan bakaheuni keliatan cantik di malam hari. Ditemani bulan purnama, akhirnya gue kembali berhayal untuk memikirkan kembali ekonomi dunia. Dan tragedi masih berlanjut. kapal pun nge-tem di laut hingga 1 jam! astajim, kacau lagi dah jadwal. Gue tiba di merak jam 10 malam dan sudah tidak ada bis primajasa lagi yang beroperasi. Akhirnya gue naik bis lain, dan tragedi lagi. Busnya jalannya lama, dan di gerbang tol Karang Tengah, bis mogok. yahuuii,, tragedi oh tragedi. Gue sampe di depok sekitar jam setengah 4. Perjalanan yang melelahkan namun mengasikkan.